Subscribe

Selasa, 05 Agustus 2008

MAPAN DULU BARU MENIKAH, atau MENIKAH AGAR MAPAN ???

Ya, kemapanan merupakan salah satu pertimbangan para lajang untuk
menikah. Tidak sedikit dari mereka yang memilih menunda untuk menikah
jika belum mapan dari sisi keuangan.Adasaja ikhwan yang tidak mau
melamar akhwat sebelum ia punya rumah sendiri atau memiliki karier
yang mapan di perusahaan. Begitu juga dengan akhwat, beberapa dari
mereka lebih berharap yang dating melamar adalah ikhwan yang sudah
'jadi', apalagi jika ia sendiri sudah cukup dari segi keuangan.

Kepada mereka juga sekali lagi saya hanya bisa katakan, anda mungkin
hanya membuang waktu saja.

Saya ingin membawa sedikit analogi dengan mengajak anda untuk
mengenang kembali kapan terakhir anda melihat pemandangan yang sangat
indah dari dataran yang lebih tinggi. Pemandangan dari puncak lembang,
atau daerah perkebunan teh yang sejuk di ciwidey misalnya, atau
mungkin cukuplah pemandangan dari pelataran Masjid at-Ta'awun di
daerah puncak, Subhanalloh sekali, betapa Alloh telah menciptakan bumi
dengan begitu indahnya.

Jika anda sangat menikmati dan merasa takjub melihat pemandangan dari
atas, saya ingin bertanya, Apakah sama rasanya berjalan kaki naik ke
atas puncak gunung, lalu melihat pemandangan yang menakjubkan dari
atas sana, dengan melihat pemandangan tersebut dari hasil jepretan
kamera saja? Saya yakin tentunya akan berbeda.

Atau satu contoh lagi, bagaimana jika anda kemudian naik helikopter
dan tidur selama perjalanan, lalu begitu mata anda terbuka, anda sudah
berada di puncak gunung dan melihat pemandangan yang sama. Apakah sama
rasanya dengan naik dulu ke puncak gunung untuk melihat pemandangan
tersebut? Sudah pasti rasanya tidak sama.

Ketika kita harus jalan kaki naik gunung tersebut dengan susah payah,
maka perasaan ketika melihat pemandangan tersebut menjadi sangat
berbeda sekali dibandingkan dengan melihatnya langsung dari helicopter
atau melihat rekaman gambarnya saja. Yang membuat rasanya berbeda
bukanlah kualitas gambar yang dih`asilkan mata dan kamera, melainkan
pad`a `proses pencapaiannya.

Ada proses yang mesti dijalani terlebih dahulu, yang tentu menambahkan
keindahan yang kita peroleh setelah berusaha. Begitu juga akan berbeda
rasanya ketika kita langsung melihat pemandangannya tanpa harus
bersusah payah dahulu untuk mendaki gunung. Pemandangan yang dilihat
memang sama, tetapi perasaannya akan berbeda karena prosesnya yang
berbeda.

Setelah capai naik gunung, kita akan melihat pemandangan itu sangat
indah sekali. Seakan-akan, terbayar sudah kepenatan kita mendaki
gunung dengan suguhan pemandangan alam yang menakjubkan. Namun, ketika
melihat pemandangan itu tanpa harus bersusah payah mendaki gunung,
mungkin pemandangannya hanya akan terlihat indah dimata, tapi kurang
memberikan kesan di hati. Apalagi jika hanya melihat gambarnya saja,
rasanya mata pun kurang puas melihatnya.

Tanyakan saja pada para pencipta alam yang masuk keluar hutan, dan
naik turun gunung. Yang mereka sukai bukanlah berada di puncak gunung,
yang mereka sukai adalah proses untuk bisa berada di puncak gunung dan
menikmati 'kemenangan' atas kerja keras mereka.

Begitu pula dengan proses pernikahan. Menunggu kemapanan ekonomi untuk
menikah ( atau dinikahi ) dapat dianalogikan seperti naik helicopter
dan ingin langsung melihat pemandangan tanpa melalui susah payahnya
mendaki gunung.

Mungkin contohnya akan lebih mengena jika saya ajak anda untuk
memperhatikan para pemancing. Cobalah perhatikan mereka yang punya
hobi memancing dan rela menghabiskan waktunya secara rutin di tempat
pemacingan. Mereka tidak melakukannya untuk mencari nafkah, mereka
juga tidak melakukannya karena sangat suka makan ikan, mereka
melakukannya memang karena sangat hobi dengan memancing.

Jika dipikir secara logika keuangan, sepertinya aneh sekali mereka mau
mengeluarkan uang yang tidak sedkit untuk bisa memancing. Mulai dari
harga alat pancing, umpan, dan tiket masuk atau biaya keanggotaan di
tempat pemancingan. Jika dipikirkan kembali, sepertinya biaya yang
mereka keluarkan tadi tidak seimbang dengan harga ikan yang akhirnya
mereka tangkap.

Mereka rela mengeluarkan uang yang tidak sedikit untuk bisa memancing.
Padahal, jika mereka membeli ikannya di pasar, bisa jadi akan lebih
murah. Tapi penilaian itu adalah penilaian kita yang melihatnya dari
permukaannya saja. Yang mereka hargai bukanlah bisa memiliki atau
membeli ikannya, tetapi yang lebih berharga bagi mereka adalah
kepuasan untuk menjalani proses memasang umpan, menunggu ikan, sampai
beradu otot dengan sang ikan ketika harus menarik tali pancingan yang
terbetot karena ikan memakan umpan. Proses itu semua lebih berharga
daripada ikan yang mereka tangkap itu.

Percayalah, perasaannya akan sangat berbeda sekali jika anda dan
pasangan anda berjuang bersama dari titik nol menuju titik kesuksesan
daripada anda mengajak pasangan anda untuk langsung berada di titik
kemapanan. Sebagian dari laki-laki berpendapat, mereka tidak ingin
mengajak pasangannya sengsara. Biarlah mereka saja yang melalui
sulitnya menuju kemapanan, dan nantinya mereka akan mengajak calon
pasangan hidup mereka untuk berumah tangga setelah mereka sudah mapan
agar pasangannya kelak tidak perlu merasakan kesulitan dan susah
payahnya mencapai kesuksesan.

Hem….,buat saya ini Cuma pembenaran saja dari ketakutan para lajang
dalam menghadapi cobaan ( berdua ). Mereka mungkin hanya tidak ingin
terlihat ketika SEDANG gagal, mereka hanya ingin terlihat SUDAH
berhasil. Tapi tidak bagi saya, hidup berumah tangga itu akan terasa
lebih nikmat dan lebih bahagia apabila kita dan pasangan kita
merasakan betapa butuhnya perjuangan dan pengorbanan dalam hidup ini.
Dimana kita dan pasangan kita mulai dari titik nol dalam hidup berumah
tangga tanpa campur tangan perekonomian kedua orang tua kita.Sangat
miris sekali saat melihat pasangan yang berumah tangga nilai kemapanan
mereka karena hasil jerih payah kedua orang tuanya, itu tidak ada
nilai apapun dibandingkan susah payahnya kita dan pasangan kita saat
mengambil keputusan untuk hidup mulai dari titik nol lagi.

Keindahan pemandangan alam bukan Cuma karena komposisi warna dan tata
letak yang enak dipandang, keindahannya terletak pada bagaimana proses
untuk melihat pemandangan tersebut. Kepuasan memancing juga bukan
karena ikannya, tapi proses sampai mendapatkan ikannya. Begitu juga
keindahan pernikahan juga tidak terletak pada bagaimana hasilnya
nanti, tapi bagaimana proses mewujudkan hasil tersebut bersama-sama.

Bahkan kalau mau jujur, dibalik kunci kesuksesan para tokoh dunia, ada
para istri yang mendukung disampingnya. Tengok saja sejarah Nabi
Muhammad SAW, betapa Khadijah saat itu memberikan support yang besar
ketika awal penyebaran islam. Lalu, coba kita kaji kembali bagaimana
Aisyah dengan qana'ahnya selama mendampingi Rosululloh di masa
kejayaan islam dengan tetap hidup sederhana dan bersahaja.
Mudah-mudahan kita pun seperti Khadijah ataupun Aisyah yang merupakan
dibalik kunci kesuksesan suami mereka adalah adanya para istri
sholihah yang selalu mendukung suaminya.Amiin.

Jadi…Percayalah perasaannya akan sangat berbeda sekali jika anda dan
pasangan anda berjuang bersama dari titik nol daripada anda mengajak
pasangan anda langsung berada dititik kemapanan.